tema #2 : ikatan yang tidak biasa
olehBicky Perdana Putra
Kepercayaan, persahabatan, ikatan batin, dilema, impian, janji, retak, phobia, mitos, terbang.
Cross. Dua garis yang saling bersilang, menjadi satu.
Chapter 1
Jatinangor, Sumedang, Indonesia, Juli 1994.
“Bick... jembatan ini kan suka ada anjing kalo sore”, memberi saran untuk melewati jalur lain.
“Tenang aja, Kres. Ga akan aku biarkan seorang anjing pun mengganggu kamu”, mungkin yang dimaksud adalah seekor anjing. Ia berkata seakan tidak takut anjing. Padahal mereka berdua tahu bahwa diantara mereka, Ia lah yang paling takut terhadap anjing.
“Apa kamu sekuat itu?”, kaget dan takjub menjadi satu.
“Belum. Tapi aku akan menjadi kuat untuk Kresna. Untuk melindungi kamu”, berteriak sambil mengangkat kedua tangannya menirukan binaragawan.
Kresna tersenyum. “Benarkah?”, dengan muka ceria, senang dan antusias, disodorkan kepalanya ke Bicky.
“Hem!”, mengangguk mantap, tersenyum.
Dua anak kecil, yang baru saja memasuki SD, sedang berjalan di sebuah jembatan. Tentu saja ingin melewatinya. Menuju ke arah rumah mereka berada. Lembah yang berada di bawah jembatan, terlihat sangat indah, berupa terasering dan sungai yang mengalir di antara persawahan.
Mereka berdua tertawa riang. Jembatan cincin, sebuah jembatan warisan Belanda yang masih dipakai hingga sekarang, membelah lembah menjadi dua.
Langkah mereka terhenti di tengah jembatan, karena seekor anjing besar sedang berjalan menuju arah yang berlawanan. Seketika mereka berdua bergetar. Anjing adalah sosok paling menakutkan bagi mereka. Bicky yang berada di depan melangkah mundur perlahan untuk mendekati Kresna.
“Kres. Jangan lari. Santai aja. Setau ku yang ini ga makan anak kecil...”, Bicky berusaha tenang dalam rasa takut yang sangat besar.
“...”, tidak bisa berkata-kata.
Anjing tersebut semakin mendekat. Sedang mereka tidak bergerak, bagai patung gemetaran. Semua baik-baik saja hingga saat anjing tersebut berjarak sekitar tiga meter dari Bicky.
“WAAAAAAA........”, Kresna semakin takut, berteriak dan lari ke arah mereka datang.
“Kres!”, Bicky menoleh ke belakang bersamaan dengan anjing tersebut melewatinya untuk mengejar Kresna.
Waktu seakan melambat. Bicky melihat Kresna berlari dan anjing tersebut mengejar Kresna. Dengan cepat Bicky mengejar anjing tersebut, Ia berlari sangat cepat.
“KRESNAAA!!!”, Bicky berlari sangat cepat, seraya melepaskan ranselnya dan memegangnya dengan tangan kanan.
Bicky melempar tasnya dengan kuat tepat mengenai anjing tersebut. Bersamaan dengan itu Kresna terjatuh. Tapi memang dasar anjing sarap, bukannya melarikan diri malah berhenti dan menoleh ke arah Bicky. Lalu balik mengejarnya.
“WWWAAAAAA!!!!!!!!!!”, Bicky berteriak jauh lebih kencang sambil berlari berbalik arah.
Namun baru saja beberapa langkah berlari, Bicky tersandung bagian jembatan yang rusak dan,
“Bruk!”, terjatuh.
...
Chapter 2
Berlin, November 2007.
Bicky memang tidak pernah menjadi kuat. Ia sama lemahnya denganku. Sama penakutnya denganku. Tapi Ia menepati janjinya untuk selalu melindungiku.
Bersama Bicky aku mengetahui arti sebenarnya persahabatan. Bagaimana kau dapat mempercayakan nyawamu kepada seseorang. Dan bagaimana kau dapat menjaga nyawa orang tersebut di genggaman tanganmu.
Aku kini kuliah di Singapura, bukan karena aku tidak menyukai PTN di Indonesia. Tapi karena kualitas pendidikan di sini jauh lebih baik. Dan juga kerena suatu hal, yang sangat sulit untuk aku ceritakan. Hal tersebut membuatku harus menjauh dari tempat aku dibesarkan, karena Bicky masih berada di sana.
Sayangnya sampai saat ini aku belum mampu menepati janjiku kepadanya. Janji itu...
...
Chapter 3
Sumedang, November 1994 (masih di hari yang sama).
“Ugh... untung aja ada orang itu. Kalau enggak aku udah abis dimakanin anjing itu...”, Bicky yang memang sempat bergulat sebentar dengan anjing itu.
“Coba aja kita bisa terbang kaya burung ituh, pastinya kita bisa kabur dengan mudah yah...”, Bicky, lalu berdiri melanjutkan perjalanan.
“Iya yah... hehehe...”, Kresna sambil menengok ke arah terbang seekor burung kecil.
“Kenapa manusia ga bisa terbang yah?”, Bicky dengan wajah bingung.
“Pasti ada alasannya...”, berpikir.
“hemm....”, ikut berpikir.
“Emm... gini aja. Jika aku udah besar nanti, aku akan menemukan cara untuk terbang. Dan aku akan mengajakmu terbang. Tapi jangan kita beritahu siapa-siapa. Biar kita aja yang bisa terbang”, Kresna dengan serius.
“Wah! Keren!! Tapi benarkah kau akan mengajakku?”,
“He’eh”, mengangguk.
“Janji?”,
“Janji!”, Kresna sambil menjulurkan jari kelingkingnya.
Mereka kembali bercengkerama sepanjang jalan. Namun tidak lama, karena mereka telah sampai di rumah Kresna.
“Aku duluan yah. Sampai besok”,
“Oke”, Bicky berpaling dan meneruskan perjalanan.
“Bicky!”,
“Iya?”, kembali menoleh.
“Makasih”,
Bicky hanya tersenyum lebar dan melambaikan tangan, dibalas dengan lambaian tangan pula.
*
Chapter 4
Februari 2009.
Bicky Perdana Putra dan Kresna Wahyu Wijaya. Kini sama-sama berumur dua puluh tahun. Mereka bersahabat sejak TK, masa dimana mereka pertama kali berkenalan, hingga kini.
Bicky, mahasiswa semester enam Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padmanegara, Bandung. Tinggi 172 cm lumayan tinggi, berat 49 kg cukup kurus, kulit cerah, rambut kemerahan yang tidak suka disisir, sineas sejati (apapun itu arti kata sejati).
Sedangkan Kresna melanjutkan studinya di Berlin, Information and Technology University of Germany. Tinggi 170 cm, berat 53 kg cukup gemuk, tapi terlihat ideal bagi orang yang melihatnya, kulit cerah rambut hitam yang selalu rapi, sangat kharismatik.
Mereka adalah perwujudan nyata yang membuktikan bahwa sahabat sejati bukanlah sebuah mitologi. Mereka bukan sepupu, bukan keluarga, bukan kembar identik, ataupun orang yang terlahir dengan berjuta kesamaan. Mereka tidak saling mengenal sebelum berkenalan, tidak diperkenalkan, dan persahabatan itu bermula dari kosong.
Kepercayaan yang terbangun diantara mereka sangat besar. Kresna mempercayai Bicky sepenuhnya, dan Bicky mempercayakan semuanya kepada Kresna.
**
Chapter 5
Sumedang, Mei 1999.
10.00 am.
SDN Cisaladah 1. SD ini memiliki tiga shift, pagi, siang, dan sore. Kelas 1, 2 dan 3 memakai shift siang dan sore bergantian. Sedangkan kelas 4, 5, dan 6 memakai shift pagi dan siang.
Keadaan sepulang sekolah yang riuh. Anak-anak berlarian dimana-mana berusaha untuk cepat berada di rumah. Diantara semua murid yang masih berada di dalam kelas 5A, di meja nomor dua dari depan, dua dari kanan meja guru, terlihatlah sosok Kresna dan Bicky yang masih bercengkerama.
“Bicky. Kamu ga ada acara kan siang ini?”,
“Em.. ga ada yang penting sih. Ada apa Kres?”,
“Aku mau ajak kamu ke suatu tempat yang bagus banget. Pokoknya keren deh!”,
“Dimana tuh? Jauh ga?”,
“Masih rahasia. Jangan takut, aku sudah pernah ke sana bareng papa mama sekali. Aku hapal kok jalannya. Ikut yah”,
“Yasudah, kalau kamu hapal jalannya mah aman. Hehehe...”, tersenyum lalu tertawa kecil.
“Hihihi... yuk berangkat sekarang”, ikut tertawa kecil khas Kresna.
Mereka berjalan keluar dari kelas menuju ke tepi jalan raya. Mereka diam beberapa lama di sana menunggu angkutan umum yang dimaksud oleh Kresna. Menuju ke suatu tempat yang menurut Kresna, menakjubkan.
Angkutan yang ditunggu datang juga. Tapi angkutan seperti itu tidak pernah sekalipun dinaiki oleh Bicky. Namun Bicky tidak sedikitpun merasa was-was, karena Kresna ada bersamanya.
“Kres, kita ga minta izin dulu sama mama?”, sedikit mengkerut.
“Gapapa, tadi aku udah bilang mamaku kok. Aku juga ingetin Dia untuk bilang ke mamamu”,
“Yasudah”, tersenyum.
...
Perjalanan cukup lama. Di sepanjang perjalanan, Kresna dan Bicky terus bercengkerama dan bercanda tanpa henti. Jika tidak, mereka selalu tersenyum satu sama lain. Seperti anak kecil yang baru mendapatkan sesuatu yang sangat berharga saja.
11.05 am. Kresna pun memberhentikan angkutan di sebuah tempat di pinggir jalan. Mereka turun dari angkutan. Kini berdirilah mereka di suatu tempat di pinggir jalan yang tidak diketahui oleh Bicky.
“Di sini Kres?”, Bicky bingung karena tidak menemukan suatu apapun yang bagus atau menakjubkan.
“Bukan di sini. Kita masih harus jalan sedikit lagi. Tapi kamu tunggu di sini yah. Aku mau ambil sesuatu dulu. Jangan kemana-mana dulu Bick”,
“Hem.. oke. Aku tunggu sini yah”, senyum.
Kresna berlari menuju arah sebaliknya, hingga tidak terlihat lagi oleh Bicky.
Chapter 6
Bicky menunggu di tempat itu. Menunggu Kresna, yang akan mengajaknya ke suatu tempat yang indah, menunggunya untuk kembali. Hingga sekarang. Hingga pukul tiga sore hari.
03.00 pm.
Bicky tidak beranjak dari sana bukan karena Ia tidak mengetahui jalan pulang. Baginya cara untuk pulang begitu mudah. Walaupun perjalanan cukup jauh, dan bagi anak 5 SD itu sudah sangat jauh, Ia hanya naik satu angkutan saja, tidak berganti hingga sampai ke tempat ini. cara pulang yang ada di pikiran Bicky cukup sederhana. Tinggal naik angkutan berwarna sama ke arah sebaliknya. Memang semudah itu.
Sekitar tiga jam yang lalu ;
“Dek, duduk di sini saja tidak panas”, seorang pedagang mie ayam menyapanya.
“Terima kasih”, Bicky pun duduk di bangku panjang yang dimaksud.
“Lagi cari seseorang Dek?”,
“Saya lagi tunggu teman, Pak”,
“Kalau begitu tunggunya di sini saja yah, temani Bapak”,
Satu jam setelahnya,
“Temannya sudah pulang mungkin Dek”,
“Enggak, Pak. Dia mungkin sedikit terlambat saja”,
Satu jam setelahnya (lagi),
“Tuh kan temannya ga muncul-muncul. Sudah sore begini mending Adek pulang dulu”,
“Saya sudah janji untuk menunggunya di sini. Dan dia sudah berjanji untuk kembali ke sini menjemput saya. Saya akan menunggu sampai Dia datang aja, Pak”,
Sekitar setengah jam yang lalu, (dari present time chapter 6).
“Temannya belum kembali juga? Memangnya Dia pergi untuk apa sih?”,
“Belum, Pak. Dia bilang pergi untuk mengambil sesuatu”,
“Sesuatu apa Dek?”,
“Saya tidak tahu sesuatu apa?”,
“Lllho?”,
“Saya mempercayainya. Buat saya, alasan seperti itu sudah lebih dari cukup untuk menunggunya di sini. Setelah Dia berhasil mengambil sesuatu itu, pastinya dia akan langsung secepatnya menjemput saya. Jika Dia belum datang, mungkin ada yang yang menghambatnya menuju ke sini”,
Chapter 7
“(ini dia)”, Kresna berhenti di sebuah gang cukup besar yang dilalui angkutan setelah berlari cukup jauh.
“(naik angkutan biru, seperti yang aku lihat dari mobil dulu)”,
Kresna pun menaiki sebuah amgkutan biru memasuki suatu gang tersebut.
“(setelah belokan ke delapan...)”,
“(...satu... ...dua... ...tiga...)”,
Setelah beberapa lama.
“...delapan! Stop di sini, Pak”, Kresna turun dari angkutan, lalu berjalan beberapa meter, dan sampai di depan sebuah toko yang cukup besar bertuliskan “PUSAT HADIAH DAN SOUVENIR”.
Kresna masuk ke dalam toko tersebut. Dengan senyum riang Ia kembali menghitung.
“Rak nomor 14. Satu...dua...tiga... ...tiga belas...empat belas!”,
Jantungnya semakin berdebar, dan kembali menghitung.
“Rak nomor empat belas. Baris ke-empat dari bawah. Satu...dua...tiga...empat. Di sekitar... Nah! Itu dia!”,
Kresna memanggil pelayan toko untuk menolongnya mengambilkan sesuatu, di rak nomor empat belas, baris ke-empat. Dengan antusias Ia menunggu pelayan toko itu mengambilkan pesanannya. Ia lalu membayar.
“Tante. Minta dibungkus dong, pake yang itu tuh”, antusias.
“Cepetan ya Tante. Aku buru-buru”,
Setelah mendapati barangnya sudah siap dibawa, Kresna pun segera berlari ke luar kembali menunggu angkutan yang berlawanan arah untuk kembali. Cukup sederhana.
Hampir setengah jam lebih Ia menunggu angkutan yang tidak kunjung tiba. Karena tidak sabar, Ia pun bertanya kepada pelayan toko, mengapa angkutan yang dimaksud tidak kunjung tiba.
“Oh. Kalau angkutan di jalan ini cuma satu arah Dik”,
“?.? Jadi?”, masih belum paham.
“Jadi tidak ada arah sebaliknya. Hanya ada yang ke arah sana”, tanganya sambil menunjuk.
Seketika Kresna memucat. Tempo hari Ia memang pernah ke sini, tapi bersama papa mama menggunakan mobil pribadi. Ia berusaha mengingat segala sesuatu untuk menuju tempat ini. namun Ia tidak mengetahui sama sekali tentang adanya jenis angkutan yang hanya satu arah.
Ia menengok jam yang ada di toko itu, 11.45 am. dan bertambah pucat.
“(Bicky menungguku di sana. Ia sendirian...)”, dengan kepala sedikit menunduk dan wajah muram.
“(Kalau begitu...)”, Kresna menaikkan wajahnya, Ia mulai dapat berkonsentrasi. Raut wajahnya kini lebih menampakkan keseriusan daripada kemuraman atau rasa khawatir.
Tiba-tiba saja Ia berlari menuju tepi jalan tadi. Lalu membelok berlari berlawanan arah dengan angkutan yang Dia naiki sebelumnya. Ia berlari sangat cepat. Lalu berhenti sejenak untuk berpikir arah mana yang sebelumnya Ia lewati.
“(...kiri atau kanan?)”, Kresna sambil menoleh untuk memastikan, dan akhirnya mengambil arah kiri.
Kresna terus berlari. Dia mulai terengah-engah namun tetap berlari tanpa henti. Mencari jalan untuk kembali, menjemput Bicky.
“...Bicky...aku...sedikit terlambat...”, berbisik dengan napas tersengal-sengal dan terus berlari.
Chapter 8
Saat itu, aku sungguh panik. Yang ada di pikiranku ketika itu hanya, bagamana agar aku dapat kembali ke tempat Bicky berada. Karena di sana Ia menungguku.
Sesungguhnya aku tidak ingin berlama-lama tersesat di tempat asing itu. Tapi ternyata tempat itu jauh lebih berliku dari yang aku duga sebelumnya. Dan otak kanakku belum sanggup untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Akhirnyalah aku tersesat dan berlari tanpa arah yang jelas.
Ketika itu, lebih dari dua jam aku berlari tanpa arah. Ketika merasa sangat letih, aku berhenti sejenak sembari berpikir keras. Apa yang dapat membuatku dengan mudah menemukan jalan raya tersebut. Nama jalan tidak satu pun aku tahu. Sambil membungkuk dan menggenggam erat bawaanku, saat itu, dengan cerdas aku menemukan jalan keluar. Yaitu,
Chapter 9
“...itu dia...di perjalanan tadi aku melihatnya satu kali. Dan rasanya tidak mungkin ada dua di tempat seperti ini... Toserba Griya!”, Kresna dengan raut wajah mencerah.
Ia kemudian menanyakan letak Toserba Griya kepada seorang ibu yang sedang lewat. Dan ternyata apa yang diperirakannya benar, bahwa hanya ada satu Griya di sana. Dan lokasinya pasti hanya satu.
Kresna terus berlari dengan keyakinan kuat bahwa Griya akan membawanya ke jalan keluar. Berkali-kali Ia tersungkur karena tersandung, tapi dengan cepat Ia kembali berdiri dan meneruskan berlari.
“Bicky... jangan... pulang dulu...”, dengan keyakinan kuat bahwa Bicky masih menunggunya.
Chapter 10
Bicky mengajak matanya berkeliling mengamati sekitar, ketika Ia dengan sangat yakin melihat sosok Kresna dari kejauhan yang tengah berlari ke arahnya. Dari arah sebelumnya Ia pergi, Kresna berlari sekencang mungkin menuju Bicky.
03.38 pm.
Setelah sampai di hadapan Bicky, Kresna langsung terduduk di tanah menyelonjorkan kakinya menghadap Bicky, terengah, berusaha kuat mengatur napas.
“...terima...kasih...masih...menunggu...”, Kresna dengan napas tersengal-sengal, kelelahan.
“Terima kasih telah kembali”, Bicky tersenyum.
“Kenapa luka-luka?”, Bicky menunjukkan kekhawatirannya setelah melihat lecet-lecet yang terlihat di telapak tangan, siku, dan dengkul Kresna.
“Oh, terjatuh karena berlari terlalu kencang”, Kresna sambil menengok ke tempat luka.
“Hehe...he...”, tertawa, puas akan sesuatu.
“Hihihi...”, Bicky ikut tertawa dengan senyum lebar.
Di tempat itu, mereka kembali bertemu. Yang satu terus menunggu karena percaya ‘Ia akan kembali’. Yang satu terus berlari tanpa henti karena percaya, ‘Ia masih menungguku, dan aku tidak mau membuatnya menunggu lebih lama lagi’.
Saat itu sangat disayangkan, pedagang mie ayam baik hati itu sudah pergi untuk berjualan di tempat lain. Sangat disayangkan, karena Bicky tidak bisa menunjukkan kepadanya, sahabatnya yang baru saja datang.
Chapter 11
Setelah berjalan sebentar, akhirnya mereka datang ke tempat yang dimakud Kresna. Yang ternyata adalah sebuah cafe dengan gaya yang menarik dan unik, bertuliskan “Kedai Imoet”.
Seketika Bicky langsung memuji selera Kresna mengenai tempat menakjubkan. Karena Ia menyukainya pula. Kresna mengajaknya masuk dan memesan makanan dengan porsi yang sama rangkap dua.
Sambil terus menerus mencandakan segala sesuatu, mereka tertawa riang sekali di sana. Berbagi cerita tentang kejadian-kejadian lucu yang tadi dialami satu sama lainnya.
Setelah mereka menyelesaikan makan, Kresna mengeluarkan bungkusan yang sedari tadi Ia bawa, meletakkannya di atas meja, setelah Ia terlebih dulu menggeser semua piring. Sebuah benda yang dibungkus dengan plastik hitam pekat. Ukurannya sekitar kaleng kue yang sering terlihat saat lebaran.
“Penasaran ga apa isinya?”, rayu Kresna.
“Inikah benda yang ingin kau ambil itu?”,
“Yah. Inilah yang telah membuatmu menunggu”,
“Hihihi...sepertinya menarik”, Bicky antusias.
Saat itu, Kresna begitu gembira melihat wajah Bicky yang antusias. Juga karena Bicky tidak sedikitpun mengeluh tentang keterlambatannya.
“Ku izinkan kau membukanya duluan”, Kresna mempersilahkan.
“Benarkah!”, semakin antusias.
Lalu, dengan dua tangan bergerak perlahan yang didramatisir, Bicky memegang bungkusan itu untuk membukanya. Berhenti, lalu melihat ke arah Kresna, dan dengan bahasa mata bertanya ‘kau yakin?’. Dan Kresna mengangguk, tersenyum.
Ala tim gegana, Bicky hati-hati namun cekatan membuka bungkusan itu. Dan tiba-tiba,
“Selamat ulang tahun, Bick...”, Kresna bersamaan dengan Bicky membuka plastik pembungkus benda yang ternyata terbungkus lagi dengan kertas kado tersebut.
Seketika Bicky menunduk dan menitikkan airmata.
“Loh kok malah nangis?”, Kresna mengetahui jelas kalau Bicky mulai menangis.
Tangis Bicky semakin jelas, dan Ia mulai menggunakan tangan kanannya untuk menutupi airmatanya dari Kresna. Walaupun percuma, Ia tetap berusaha menutupinya.
“Ga suka kadonya ya...”, Kresna dengan suara merendah dan mendekatkan kepala.
Bicky yang ingin sekali menjawab, tidak bisa menghentikan isak tangisnya. Dan dengan usaha keras berkata, “Terima...kasih...”.
Kresna lalu tersenyum, mendorong kado itu lebih dekat dengan Bicky, lalu berusaha menenangkan Bicky.
Bicky terus menangis. Dan di saat itu, memang ada sesuatu yang tidak mampu terungkapkan dengan kata-kata, selain dengan airmata haru serta bahagia.
***
Chapter 12
Setelah lulus SD, Kresna pindah bersama keluarga ke Jakarta karena tuntutan pekerjaan orang tua. Saat itu merupakan saat paling berat kedua dalam sejarah persahabatan mereka. Sangat terlihat dalam diri mereka bahwa mereka tidak ingin terpisah.
Di halaman depan rumah Kresna, Bicky sedang sibuk membantu membereskan barang-barang. Saat itu, mereka masih saja riang bercanda dan tertawa. Tanpa mereka ketahui, hal itu malah membuat kedua orang tua Kresna sedih.
“Di Jakarta pastinya banyak tempat asik yah!”, Bicky antusias.
“Sepertinya sih begitu”, Kresna tersenyum.
“Kres, kamu jangan lupa cari tempat asik sebanyak-banyaknya. Nanti kapan-kapan aku main ke sana”, Bicky balas tersenyum. Tidak berapa lama.
“Sudah yah, aku berangkat dulu”,
“...”,
“Aku akan segera mengirimkan surat. Untuk memberitahu alamat dan sekolah baruku”, pada masa itu, di Jatinangor memang belum terjangkau jaringan telepon dengan baik. Internet pun masih sangat terbatas.
“Hem!”, Bicky mengangguk tegas.
Kresna pun mengikuti orang tuanya naik ke dalam taksi yang telah dipesan. Sedang Bicky masih berdiri di depan pagar. Taksi mulai berjalan dan Bicky mulai memutar badan untuk pulang. tidak berapa lama terdengar suara mobil tersebut berhenti, Kresna keluar dan berlari menghampiri Bicky. Bicky menoleh ke arah Kresna.
“Ada yang terlupa?”,
Kresna mengeluarkan pena kesayangannya, pemberian dari ayahnya pada ulang tahun ke sembilan, dari dalam ransel yang Ia bawa. Kresna lalu mengeluarkan juga spidol kecil berwarna merah dan biru. Di bagian persambungan pena tersebut Kresna menorehkan garis merah dan biru secara bersilangan, membentuk lambang ‘X’.
“Sedang apa Kres?”, bingung.
“Garis merah adalah kamu, aku yang biru...”, Kresna lalu membuka pena itu, tepat membelah tanda ‘X’ menjadi dua.
“Kamu kan sangat menyukai pena itu...”, Bicky masih bingung dengan perbuatan Kresna.
“Iya, dan aku sangat ingin selalu memakainya. Karena itu...”, Kresna lalu memberikan salah satu bagian pena yang terbelah itu ke tangan Bicky, “...cepatlah kembalikan ini kepadaku”, Kresna kembali tersenyum.
“Selamat tinggal, Bicky”,
“Selamat tinggal, Kresna...”,
Kresna lalu kembali berlari menuju taksi, masuk ke dalam, membuka jendela, dan melambaikan tangan, disambut oleh lambaian tangan Bicky.
****
Chapter 13
Jakarta, Januari 2002. SLTP N 30 Jakarta Utara.
Sudah satu tahun lebih aku tidak bertemu dengan Bicky. Kami hanya berhubungan melalui surat. Tapi aku tidak puas, aku ingin bertemu dengannya, segera.
Sebenarnya hari ini aku sedang tidak ingin bersekolah. Aku ingin di rumah saja, tapi tidak seperti biasanya, mama tidak mengizinkanku istirahat di rumah. Dia bilang aku harus masuk sekolah hari ini.
Hufh... sungguh menyebalkan, harus sekolah di saat aku tidak bersemangat belajar. Jam istirahat kedua, istirahat siang, hampir habis, aku berjalan menuju kelas. Di sekolah ini belajar mengajar berlangsung dari pukul tujuh pagi hingga tiga sore, karena itu memiliki dua kali waktu istirahat, istirahat pertama dan istirahat kedua, yang biasa disbut istirahat siang.
Singkat saja, aku telah berada di bangku, bertepatan dengan bel selesainya istirahat berbunyi. Ibu guru telah masuk lebih dahulu, dan seketika mulai brbicara.
“Anak-anak. Hari ini kita kedatangan... ... ...”, Ibu guru seperti ingin mengumumkan sesuatu, tapi aku tidak tertarik sama sekali.
Dengan tak berselera aku hanya menatap meja yang hanya terisi sebuah buku tulis, sebuah kotak pensil, dan sebuah pena pemberian ayahku di ulang tahunku yang ke sembilan tergeletak dengan rapi.
“Deg!”, seketika suara degupan jantungku mencapai daun telinga dengan sangat jelasnya.
Pena. Pena tersebut sudah tidak berada di dalam kotak pensil! Pena tersebut utuh!! Garis birunya! Garis merahnya! Utuh!
Bicky...
Chapter 14
Bicky melambaikan tangan dari depan kelas kepada Kresna, yang baru saja menyadari keberadaanya. Padahal Bicky telah cukup lama mengamati Kresna dari depan.
“Anak-anak, jadi ini teman baru kalian. Namanya Biki, betul kan?”, Ibu Guru bertanya kepada Bicky.
“Lebih tepatnya adalah B-I-C-K-Y, Perdana Putra ... ... ...”, Bicky dengan senyum cerianya.
Pada saat perkenalan Bicky di depan kelas, Kresna berbisik kepada teman sebangkunya.
“..itu Bicky yang sering gw ceritain... boleh yah...”, Kresna memohon sesuatu kepada temannya itu. Dan temannya mengangguk.
Setelah beberapa saat perkenalan, “Kalau begitu, kamu duduk di...”, Ibu Guru.
“Di sini saja Bu!”, setengah berteriak semangat, “Kami sudah membicarakannya”, Kresna menjawab sebelum Ibu Guru sempat bertanya.
Bicky tersenyum. Kresna pun tersenyum pula.
Seketika Bicky menjadi murid di sekolah itu, keakraban Kresna-Bicky menjadi sangat jelas terlihat. Tidak lama setelahnya, persahabatan mereka yang begitu akrab mengalahkan setiap hubungan yang ada di sekolah itu. Mulai dari hubungan persaudaraan, percintaan, persahabatan, apalagi pertemanan, tidak ada yang mampu menyamai eratnya hubungan mereka.
Seketika mereka terkenal sebagai pasangan sahabat terbaik di sekolah. Setiap orang merasa iri terhadap keakraban mereka, bahkan seringkali menyangka mereka adalah saudara kandung. Setiap orang yang mengenal Kresna pasti mengenal Bicky, begitupun sebaliknya. Kresna selalu diasosiasikan dengan Bicky, begitu juga Bicky selalu diasosiasikan dengan Kresna.
*****
Chapter 15
Jakarta, Oktober 2004. SMA N 13 Jakarta Utara.
SLTP N 30 adalah sekolah favourite di Jakarta Utara. Begitu juga dengan 13, yang merupakan SMA ter-favourite di Jakarta Utara. Karena itu, sebagian besar siswa 30 akhirnya memilih 13 sebagai tempat melanjutkan pendidikan mereka.
Begitu juga dengan Kresna dan Bicky. Mereka memilih 13 selain karena SMA berkualitas, juga karena cukup dekat dengan tempat tinggal mereka. Bicky di Jakarta tinggal dengan kerabat dari keluarga ayahnya, tidak terlalu jauh dari rumah Kresna.
Di kelas XI (bahasa KBK1 dari kelas 2 SMA) ini Kresna dan Bicky kembali sekelas setelah di kelas X mereka tidak sekelas, tapi bersebelahan kelas. Walau begitu, rumor mengenai kehebatan persahabatan mereka tidak pernah hilang.
Saat ini lah Bicky memberitahukan kepada Kresna mengenai seorang gadis bernama Indah. Bicky ternyata sudah cukup lama menaruh perasaan terhadap Indah, dan berbagai alasan yang membuat Bicky menyukai Indah disetujui oleh Kresna.
“Indah tuh, beda dari yang lain”, Bicky.
“Memang kelihatannya memiliki aura tertentu”, Kresna dengan gaya khas elegannya.
“Setuju! Tepat banget lo Kres!”, mengiyakan.
Dan seperti itulah. Bicky mencintai Indah, Kresna mengetahuinya. Dan ketika Kresna mengatakan bahwa Ia juga tertarik dengan Indah, Bicky pun menerimanya sebagai hal yang wajar. Lagipula, cowok normal mana yang ga akan tertarik kepada Indah, Bicky berpikiran seperti itu. Dan hal tersebut tidak merusak persahabatan mereka. Sama sekali tidak memengaruhi apapun. Sama sekali tidak.
#*
Chapter 16
Bogor, Juli 2006. Villa Tiandiva.
Acara independent perpisahan kelas XII IPS 3, setelah pengumuman kelulusan dan setelah menjalani tes menjadi dewa, SPMB. Acara ini diadakan dalam rangka menghabiskan waktu terakhir di ambang SMA bersama teman-teman sekelas.
Kelas XII S 3 terbangun secara solid dan menyenangkan. Hubungan diantara semua siswa di kelas itu sangat harmonis. Kresna dan Bicky juga berada di dalam kelas tersebut. Begitu juga dengan Indah.
Di awal kelas XII, semester ganjil, Kresna telah resmi menjadi pacar Indah. Namun hal tersebut tidak membuat persahabatan mereka merenggang. Malah sebaliknya, hal tersebut membuat mereka bertiga, Kresna, Bicky dan Indah menjadi semakin akrab.
Di villa tersebut, mereka sekelas akan menghabiskan tiga malam bersama. Tiga malam terakhir.
Chapter 17
“Kres. Indah mana?”, Bicky menegur Kresna yang sedang menonton televisi.
“Di dapur. Ada apa Bick?”,
“Gw nemu tempat bagus banget. Kita ke sana yuk. Daripada ga ada kerjaan”,
“Boleh... bentar gw panggil Indah dulu ya”, Kresna melompat dari sofa dan berlari ke dapur.
Mereka pun berangkat. Hanya mereka bertiga karena sebagian teman-teman telah punya rencana untuk pergi ke air terjun, sedang sebagian yang lain malas bepergian.
“Jauh ga Bick?’, tanya Indah dalam perjalanan.
“Ga terlalu. Kalian mesti liat view di sana, keren banget!”,
“Kres, bawa kamera ga?”, tanya Indah.
“Bawa. Aku tau kok narsisnya kamu, apalagi di tempat-tempat bagus. Hehehe...”, Kresna tertawa geli.
“Hihihihi...”, Bicky pun ikut tertawa, sementara Indah cemberut sambil mencubit Kresna yang ada di sampingnya, dan melempar kepala Bicky yang berada di depan dengan bungkus permen.
Sampailah mereka di tempat yang dimaksud oleh Bicky. Sebuah tepi jurang yang menghadap ke arah lembah yang cukup besar, dalam, indah, dan sangat hijau. Terdapat rangkaian bunga di tepi jurang tertata alami namun sangat cantik, seperti ditata oleh tangan Tuhan sendiri. Pemandangan di tempat itu memang sangat cantik, menakjubkan.
“Wwooo...”, Kresna terkesima seketika.
“Wow!! Kita mesti lapor ke teman-teman nih! Mereka mesti lihat tempat ini!!”, sahut Indah tanpa melepas pandangannya menyusuri lembah.
“Hebat kan?”, pertanyaan basa-basi yang dilontarkan Bicky bagai tidak merasuki mereka yang sedang terkesima.
Mereka bertiga pun duduk di tepi jurang, saling bercengkerama cukup lama.
“Indah, foto bareng yuk. Boleh kan Kres?”, Bicky sambil menggoda Kresna.
“Apaan sih. Jelas boleh lah”,
“Yuks!”, Indah.
Mereka pun berdiri, merapikan baju dan berusaha membersihkan celana yang terkena tanah.
“Jangan terlalu mundur ya, jurangnya dalam, males gw ngambil lo ke bawah. Tar kalo jatuh gw tinggal”, Kresna mengingatkan mereka untuk hati-hati.
“Okkey, Pak!”, Indah sambil hormat ke arah Kresna.
“Em...geseran kiri dikit... 1/8 langkah. Rapetan dikit, jangan kaya musuhan dong. Bick, tangan kiri lo ngerangkul Indah dong. Indah, kamu jangan terlalu mundur, bisa jatuh... ...”, Kresna memberi serentetan instruksi.
“Aduh, cerewet banget!”, Indah
“...kaya foto studio...”, Bicky menggoda.
Saat itu, posisi Bicky dan indah memang hanya berjarak sekitar 30 cm dari tepi jurang. Namun hal tersebut memang masih dalam jarak aman antisipatif.
Setelah beberapa lama mengatur setting, akhirnya Kresna puas dengan posisi final mereka. Sesaat setelah lampu blitz berkilauan, Indah dikagetkan oleh sosok menyerupai ular yang ada di dekat kakinya.
Chapter 18
“AAAAAAaaaaaaaaaaaa....!!!”, Indah berteriak seraya mengibaskan tangannya tak tentu arah, dan tanpa sengaja memukul kepala Bicky cukup keras yang membuatnya terdorong ke belakang. Dengan mata tertutup sesaat, kaki kiri Bicky terseret ke belakang.
“Indah bodoh! Itu bukan ular!!!”, Kresna menyadari keadaan yang berbahaya, Ia dengan segera menjatuhkan kamera dan berlari berusaha meraih tangan Bicky.
Bicky kehilangan keseimbangannya, seketika Ia membuka mata dan menyadari bahwa kaki kirinya sudah tidak menapak di atas tanah, sedangkan posisi badannya condong ke belakang. Tangan kirinya berusaha mencari pijakan dan tangan kanannya menggapai angin.
Sedangkan Indah yang kaget melihat Kresna berlari menuju jurang, secara spontan meraih tangan kanan Kresna untuk mencegahnya.
Bicky telah melayang di awang-awang ketika (tangan kiri) Kresna berhasil meraih tangan kiri Bicky yang mulai beralih ke depan tubuhnya. Kresna terseret menepi jurang.
Sedangkan Indah yang telah menggenggam tangan kanan Kresna (dengan tangan kanannya), malah tersentak dan ikut terjatuh dan terseret di tepi jurang.
Lalu Kresna terduduk terseret di sisi jurang yang tidak terlalu curam. Memegang Bicky dan Indah secara bersamaan. Mereka bertiga terseret di sisi jurang tersebut. Kresna berhasil menemukan tumpuan untuk kakinya, Ia pun bertumpu pada batu yang tidak terlalu besar itu dengan posisi terjongkok, dengan cepat menyenderkan tubuhnya ke belakang, menjaga keseimbangan. Sedangkan Bicky dan Indah menggantung di tangan Kresna tanpa ada pijakan ataupun pegangan lain sama sekali.
“Cari pegangan!!”, Kresna berteriak, Ia memegang tangan Indah dan Bicky dengan kuat.
Bicky sibuk mencari pegangan tambahan, namun Ia tidak menemukan satupun, sedangkan Indah tidak sadarkan diri. Yang ada hanya tumbuhan-tumbuhan lereng yang kecil
“Indah bodoh... itu tali kamera gw...”, Kresna sambil sekuat tenaga menahan mereka berdua.
“Terlalu licin! Gw ga bisa naik!”, Bicky berusaha menarik diri ke atas.
Tempat mereka kini dengan kemiringan sekitar 120°, namun di bawah mereka sudah hampir 90°.
“Sial! tangan lo basah Bick!!”, jantung Kresna berdetak semakin cepat dan kencang ketika menyadari tangan Bicky mulai berkeringat.
Bicky tertegun, lalu melihat ke arah Indah yang sedang pingsan.
“...”, Bicky juga menyadari bahaya yang selanjutnya ada, Ia bisa saja terjatuh seriap saat.
Tangan Bicky mulai tergelincir di genggaman Kresna. Walaupun Bicky berkali-kali berusaha menggenggam tangan Kresna dengan dua tangan, semakin lama semakin cepat genggaman Bicky tergelincir dari tangannya. Ia menyadari potensi yang sangat besar bagi Bicky untuk terjatuh.
Genggaman Bicky semakin tergelincir dan kian beresiko. Detak jantung Kresna semakin kencang bagai memukul-mukul dadanya. Ia menatap wajah Indah, bagaikan tertidur pulas tanpa beban.
Ritme napas tidak lagi mampu diaturnya. Ia kembali menatap wajah Indah, seketika Ia memejamkan mata menengadah ke atas. Dan,
Melepaskan tangan Indah. Kresna berteriak sekencang-kencangnya ke angkasa lalu dengan cepat menggenggam Bicky dengan dua tangan.
Bicky yang melihat tubuh Indah melayang jatuh berteriak histeris,
“INDAAAAAAAHHHHHHH!!!!!!!”,
Genggaman tangannya dengan Bicky sudah kembali kuat. Dan dengan hanya satu beban, Ia berhasil menarik diri mereka ke atas.
Seketika mereka telah berada di atas. Mereka sangat kelelahan dan kepayahan. Hampir seperti tidak ada lagi sisa tenaga.
Bicky dengan susah payah berusaha menegakkan diri, dan tiba-tiba saja memukul wajah Kresna dengan keras, hingga Kresna kembali tersungkur.
“Lo...membunuh...Indah!!!”, Bicky berteriak sekuatnya sambil mengalirkan airmata.
Tidak bisa dipungkiri, walau sudah merelakannya dengan Kresna, Bicky masih sangat mencintai Indah.
Kresna pun menitikkan airmata.
“Deg!!”, tiba-tiba saja jantung Bicky terasa sakit menghentak, dan Ia tidak sadarkan diri.
Chapter 19
Kresna berlari menggendong Bicky kembali ke villa. Di sana Ia tidak sempat menceritakan segala sesuatunya. Namun dari informasi yang sedikit sudah membuat semua teman-temannya menangis, terutama teman wanita.
Kresna dan Bicky segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Kresna dapat langsung pulang, sedang Bicky harus dirawat inap.
Beberapa anak lelaki termasuk Kresna yang berada di RS menunggu Bicky.
“Keadaannya sudah cukup stabil. Kami belum menemukan apa yang menyebabkannya mendapat serangan jantung mendadak. Namun kami perkirakan ini karena shock yang terlalu besar”, seorang dokter menemui mereka.
Sehari penuh Bicky tak sadarkan diri. Mereka masih tetap menunggu. Kresna pun diperiksa polisi untuk memberikan keterangan dan kesaksian.
Keesokan harinya Bicky sadar. Beberapa teman, kecuali Kresna yang masih harus memberikan kesaksian di kantor polisi, dipersilahkan menemui Bicky. Sekitar setengah jam setelahnya, Kresna telah sampai di RS karena mendengar kabar bahwa Bicky telah siuman.
Namun. Hal yang paling berat dalam sejarah persahabatan mereka baru saja dimulai.
Sebelumnya Bicky terus menerus menanyakan Kresna kepada teman-temannya, dan mereka pun paham keadaan tersebut.
Keanehan terjadi setelah Kresna memasuki ruang tempat Bicky dirawat. Ekspresi wajah Bicky secara tiba-tiba berubah setelah melihat Kresna.
Bicky seperti tidak melihat Kresna, tetapi melihat kejadian yang menakutkan. Atau bisa dibilang, pada detik Ia melihat Kresna, Ia melihat kejadian paling mengerikan dalam hidupnya. Bicky kembali menerima serangan jantung dan tak sadarkan diri.
Keesokan hari, keluarga Bicky dan Kresna sudah berada di RS. Kresna dan orang tua Bicky dipanggil untuk mendengarkan keterangan dokter mengenai keadaan Bicky. Dokter pun unjuk bicara,
“Setelah mendengar keterangan dari teman-teman Bicky dan telah diteliti oleh rekan-rekan, saya dapat mengatakan ... ... ...”.
Chapter 20
Aku tidak terlalu memahami bahasa ilmiah dan istilah sulit yang diterangkan oleh dokter tersebut. Namun aku dapat dengan mudah memahami apa yang Dia maksudkan.
Menurut hasil analisa, Bicky menderita penyakit jantung yang disebabkan oleh pengalaman mengerikan. Dan setelah diselidiki, ternyata memang Ayah dan Ibu Bicky membawa potensi penyakit jantung dalam kromosom mereka. Keduanya terakumulasi dan menjadi potensi yang cukup dalam tubuh Bicky.
Tidak hanya itu, Bicky menderita phobia yang sangat jarang terjadi. Phobia terhadap pengalaman mengerikan yang terasosiasi penuh pada diri seseorang. Pada diriku.
Secara sederhana, Bicky kembali mengalami kejadian terbunuhnya Indah setiap kali Ia melihatku, dan itu memicu jantungnya untuk berguncang.
Aku memiliki potensi besar untuk membunuhnya jika aku menampakkan diri di hadapannya. Asosiasi tersebut tidak hanya pada wajah dan visualisasi diriku, namun juga suara, parfume, dan segala hal yang mengasosiasikan aku.
“Deg!! Deg!!”, detak jantungku terdengar hingga ke dasar hati. Aku menutup telinga, tapi tetap terdengar.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah hal paling berat dalam hidupku. Aku tidak bisa lagi menemuinya, berbincang, bercanda, berdebat, bermain, atau sekedar berbalasan senyum seharian. Bukan aku tidak mampu, tapi karena aku tidak ingin membunuhnya.
Ia sahabatku. Bukan! Ia belahan diriku.
Tapi sekarang, aku harus menjauhinya. Menjauhi bagian diriku yang lain...
*#*
Chapter 21
Setelah Bicky keluar dari RS, Kresna pergi sejauh mungkin dari Bicky. Ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di German. Meninggalkan Bicky di Jakarta.
Bicky pun cukup cerdas untuk menyadari keadaan pelik tersebut. Memang merupakan suatu dilema yang sangat menyakitkan. Bicky masih tetap menyayangi Kresna bagai saudaranya sendiri, begitupun dengan Kresna. Namun mereka tidak dapat bertemu, walau hanya sebatas suara.
Mereka tetap bercengkerama melalui surat, baik berupa lembaran maupun e-mail.
Tidak seperti penghuni internet pada umumnya, Kresna tidak pernah sekalipun menampilkan fotonya. Ia selalu memakai foto Indah dan Bicky untuk segala keperluan cyber community.
*#**
Chapter 22
Bertahun-tahun kalian bagai berada di dimensi yang berlainan. Kehidupan Bicky kembali berjalan. Ia kuliah, pergi dan pulang. Ia jarang sekali keluar rumah, selalu mengurung diri di dalam kamar. Untung ada teman wanita baik hati, yang seringkali berkunjung ke rumah dan mengajaknya ngobrol, Lina.
Lina sering mengajaknya keluar, tapi Ia selalu menolak. Terkadang hal tersebut membuat Saya menangis. Dan yang lebih menyedihkan, Bicky selalu berkata kepada Saya, “Seperti apa wajah Kresna Bu?... ...Ibu apa Kresna datang ke sini tadi pagi... ...di mana Ibu sembunyikan Kresna (Ia lalu berteriak berkeliling rumah memanggil namamu)... ...Ibu, aku ingin memimpikan Kresna... ...Ibu, masih hidupkah Kresna... ...Ibu apakah yang mengirim surat benar Kresna... ...Ibu jangan berpura-pura menjadi Kresna dan selalu mengirimiku email!... ...”
Saya selalu menemaninya tidur tanpa Ia ketahui. Dan di dalam tidurnya Ia kerap mengigau dengan berkata yang macam-macam, “...Ibu aku tidak bisa mengingatnya... ...Ibu apa aku memiliki sahabat... ...Ibu, apakah aku punya kakak bernama Kresna?... ...Ibu, Kresna akan mengajakku terbang... ...Ibu, aku ingin bermain ke rumah Kresna... ...Ibu, Kresna telah menjemputku, aku harus sekolah... ...Ibu, aku dan Kresna juara kelas... ...Ibu, Kresna akan datang nanti sore... ...”
Hal tersebut sangat mengiris hati Saya sebagai orang yang melahirkannya. Saya selalu berusaha menahan tangis agar tidak menagis di hadapannya.
Namun kini Ia tidak lagi seperti itu.
Sebulan yang lalu, di pagi hari Ia berkata “Ibu, mungkin Kresna mengira aku masih di Jatinangor...”. Saat itu Saya sama sekali tidak mengira Ia akan pergi ke Jatinangor seorang diri. Seseorang menceritakan kepada Saya, bahwa Ia berkata “Indah? Indah tunggu, di mana Kresna!”, dan berlari menyeberang begitu saja, lalu tertabrak mobil.
Kini Ia berada di Rumah Sakit MNC Jakarta dalam keadaan khoma. Maafkan Saya baru mengabarkan kepadamu sekarang. Saya ragu apakah baik memberitahumu hal ini. Setelah saya bicarakan dengan ibu mu, Dia menyarankan Saya untuk memberimu kabar.
Saya sangat berharap kamu dapat kembali ke Indonesia untuk menemui Bicky. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa. Saya yakin hubungan batin kalian yang erat mampu menolongnya.
R. R. Sri Puji S.
Seketika Kresna meneteskan airmata.
“(Pantas saja Ia tidak mengirimiku surat sebulan terakhir...)”, Kresna sambil mengusap air matanya.
“Bicky...”
**#**
Chapter 23
Kresna bergegas memesan tiket pesawat yang tercepat. Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Ia langsung naik taksi menuju ke rumah sakit tempat Bicky diopname.
Dalam perjalanan, Kresna menghamparkan pandangannya ke penjuru kota Jakarta. Sudah lama sekali Ia meninggalkan tempat ini.
“Pak, jalan di depan macet sekali. Bolehkah saya melewati jalur alternatif?”, tanya supir taksi
“Silahkan”, jawab Kresna singkat sambil tetap memperhatikan keramaian.
Jalan alternatif yang dilalui taksi tersebut ternyata melewati sebuah kawasan tempat berbagai hewan hias diperjualbelikan. Diantaranya juga terdapat burung hias yang cantik-cantik. Kresna memperhatikan burung-burung tersebut.
“Kenapa manusia tidak bisa terbang seperti burung...”, Kresna berbisik pelan, mempertanyakan kembali hal yang sama.
Lalu, tiba-tiba saja Kresna menyadari sesuatu. Ia lalu tersenyum lebar dan tertawa kecil.
Tidak berapa lama taksi tersebut kembali berada di jalan raya.
“Waduh, Pak. Rumah sakitnya tinggal dua kilo lagi ke depan, tapi jalannya macet sekali ini, Pak”, supir taksi menginformasikan keadaan kepada Kresna.
“Terima kasih, Pak. Saya jalan saja dari sini. Ini Pak, maaf saya tidak punya rupiah. Tapi saya yakin ini lebih”, Kresna memberikan uang kepada supir taksi tersebut dan turun dari taksi.
Setelah turun, Ia menggulung lengan baju, mengencangkan ransel, dan mengencangkan tali sepatunya. Lalu mencari celah yang kosong dan tepat.
“Hihihi...sudah lama tidak melakukan ini...”, wushhhh....Kresna berlari sangat cepat melewati mobil-mobil yang merangkak di jalan raya, dan dengan cepat pula menjadi pusat perhatian semua orang.
Ia melewati pejalan kaki lain. Di tengah teriknya matahari Jakarta tidak banyak orang yang berkeliaran di trotoar hari ini.
“(Bicky, aku tahu... Aku tahu mengapa manusia tidak bisa terbang seperti burung... Hanya satu alasan. Agar manusia mengagumi burung-burung. Burung-burung itu begitu indah, begitu mengagumkan. Jika manusia mampu terbang, tidak ada lagi yang akan menyanjungnya. Burung-burung itu...)”, Kresna dalam hati sambil berlari kencang dan terus tersenyum.
Di tengah lari kencang tersebut
“Mas!! Hapenya jatoh tuh!!!”, seorang berteriak ke arah Kresna.
Seketika Kresna berhenti dan memeriksa kantung celananya. Namun Ia merasa aneh, karena handphone miliknya masih ada. Orang tersebut mendatangi Kresna setengah berlari. Dan,
Chapter 24
“...hosh...hoshh...hosh...”, suara napas yang tersengal-sengal, disertai suara derap lari, di dalam sebuah rumah sakit.
“Bruk!”, suara jatuh tersungkur.
“Ceklek! Ciieeeet...”, pintu sebuah ruang di rumah sakit terbuka.
“Bicky... bangun, Bick. Gw sudah menemukan cara untuk terbang”, suara yang pelan di samping ranjang tempat Bicky terbaring.
Bicky terbangun dan setengah tersadar. Samar-samar Ia mendengar suara Kresna, dan mencium parfume yang biasa dipakai sahabatnya itu. Lalu setelah matanya terbuka sempurna, Ia melihat sosok Kresna dengan lengan baju tergulung berusaha membangunkannya.
“Kresna!”, Bicky begitu bahagia dapat kembali melihat Kresna setelah sekian lama.
“Bicky... ayo bangun. Gw sudah menemukan cara untuk terbang”, Kresna antusias.
“Benarkah?”, Bicky pun antusias.
“Iya! Ayo cepat, gw ingin sekali menunjukkan dan mengajak lo terbang!”, Kresna terlihat sangat bersemangat.
“Kres! Gw ga lagi kena serangan jantung Kres! Phobianya sudah hilang. Kita mesti beritahu Ibu...”,
“Sudah, itu nanti saja. Sekarang kita terbang dulu”, bujuk Kresna dengan terus menarik tangan Bicky.
“Di mana kita akan terbang?”,
“Kita akan terbang di jembatan cincin”,
“Tapi kan...”,
“Apa kamu tidak tahu kalau jembatan cincin ada tepat di belakang rumah sakit ini?”,
“Benarkah?”,
“Ayo!”,
Mereka berjalan menuju halaman belakang rumah sakit.
“Wah... ternyata benar”, Bicky takjub melihat keindahan jembatan cincin yang telah lama tidak dilihatnya.
“Tuh, kan. Kapan aku pernah berbohong padamu”, Kresna tersenyum.
“Tunjukkan padaku, Kres!”, Bicky semakin penasaran.
“Ayu naik”, Kresna mengajak Bicky naik ke tepi jembatan cincin.
“Aku takut jatuh...”,
“Jangan takut, aku sudah bisa terbang, aku akan membawamu terbang pula”, senyum Kresna.
Bicky terus tersenyum memperhatikan wajah sahabat yang telah lama Ia rindukan itu.
“Sekarang rentangkan tanganmu selebar-lebarnya”, Kresna menggenggam satu tangan Bicky dan merentangkan tangan. Mereka berdua merentangkan tangan sambil tetap saling berpegangan.
“Sekarang pikirkan kau memiliki sayap, lalu melangkahlah ke depan”,
“Semudah itukah?”,
“Lakukan saja”,
“Baiklah”,
“Kita lakukan bersama-sama yah”,
“Ok. Hem... yuk”, Bicky menarik napas panjang dan mulai melangkah.
Mereka pun melayang bersama di tepi jembatan cincin.
“Wahh...! Kita benar-benar terbang!!”,
“Tuh kan. Apa aku bilang”,
“Sekarang kita akan terbang kemana Kres?”,
“Hem... bagaimana kalau kita melihat surga”, berpikir dan menemukan gagasan.
“Bisakah?”,
“Tentu!”,
Dua sosok tubuh kecil itu melayang bebas di angkasa. Benar sekali, manusia tidak bisa terbang seperti burung-burung, agar manusia mengagumi burung-burung itu.
Namun, ikatan yang terjalin diantara mereka. Tidak hanya burung, bahkan malaikat pun mengaguminya. Ikatan tersebut merupakan mahakarya Tuhan yang sangat Indah.
Terbang bebas seperti burung. Mereka berhak mendapatkannya, bahkan lebih.
_THE END_
Last Chapter I
Di tepi trotoar, Kresna jatuh tersungkur. Lelaki yang tadi memanggilnya berlari meninggalkannya seperti itu. Tak lama, Kresna bangkit, menengok ke sekeliling, termenung cukup lama, dan kembali berlari menuju rumah sakit.
Kerumunan orang bertumpuk di sebuah trotoar. Seorang supir taksi yang penasaran turun dan ikut melihat, meninggalkan taksinya di tengah kemacetan yang sangat parah itu. Ia berusaha menjejalkan diri diantara kerumunan orang, untuk melihat apa yang sedang terjadi.
“Astagfirullah!!! Itu bapak baik hati yang naik taksi saya tadi...”, supir taksi tersebut terkaget, “Kenapa Dia, Pak?”, tanya supir tersebut kepada salah seorang yang berada di sana.
“Dirampok sepertinya... ditusuk terus diambil tasnya...”,
Last Chapter II
Di rumah sakit, Ibu Bicky terus menunggui anaknya tanpa letih. Ia dengan lembut memperhatikan wajah anaknya dan membelai rambutnya penuh kasih sayang. Dan tiba-tiba saja,
“...Ibu... Kresna... datang...”, suara itu lirih berbisik, namun dapat dengan jelas terdengar.
Disusul suara indikator denyut jantung yang melengking lurus. Ibu Bicky segera menekan bel pertolongan dan memegang erat tangan Bicky sambil deras mengalirkan air mata.
_TRUE END_
If I were the rain
That binds together the earth and the sky
Who in all eternity will never mingle
Would I be able to bind the hearts of people together?
Sekali lagi, bukan berdasar kisah nyata. Kesamaan nama, karakteristik tokoh, dan tempat merupakan hal yang penulis sengaja. Thanx to : God Almighty, untuk ide-ide yang berdatangan begitu saja. Kresna Wahyu Wijaya, sahabat gw semasa kecil dan SMA, serta suami dari cinta pertama gw, gw tadinya ga percaya kalau ternyata lo bisa menginspirasikan, dahsyat! Mujahidah Shafiya (Ophie), rival dalam kompetisi cerpen mingguan ini, deadline is number one! Lagi2 komputer serbaguna, walau spec pas2n, mmuach! Ditta (cowo gunung), thx, lo memberi gw beberapa inspirasi. Agustiyanti (Yanti) dan Vidia Anugerah (VD), untuk merefresh info2 yang udah gw lupa, thx Ti, buat VD ‘GooDLucK @ Germany, hope you’ll find some good guys there’. Dan tak lupa, TOILET!, walau kali ini kau tidak terlalu berguna. Characters : thx to Bicky, kalo di film ada ga yah sutradara sekaligus pemain? Kresna, sekali lagi terimakasih, maaf char lo dibuat berlebihan. Indah, sory Ndah ini bukan percintaan, jadi lo numpang mati duank, hehehe. “Lina”, nocomment. Nyokap gw (yg namanya tertera di bawah chapter surat), thx alot for giving me your awesome cromossom. Orangtua Kresna, yang hanya kebagian peran bertampang sedih, thx. Anjing di jembatan cincin, hush...hush...mati aja lo! Tukang mie ayam, siapapun engkau, thx. Supir taksi, maaf kekurangan detailnya, laen kali kalo butuh peran supir gw panggil lagi deh. Environtment : Jembatan Cincin, 4 rumah maya, Kedai Imoet, Jalan Raya Jatinangor, Berlin, SLTPN 30, SMAN 13, Villa Tiandiva, n jurang. thx a lot! Cant make it without u...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar