tema #1 : karakter imajinatif
olehBicky Perdana Putra
Bayangan yang mengikat, perjuangan, masa lalu, cinta segitiga, pertolongan, kendali, alam bawah sadar, dan misteri...
Nomena. Sebuah paham yang memandang sesuatu adalah tidak bisa diungkapkan. Tapi mengungkap dirinya sendiri. Tidak bisa dideskripsikan, karena pendeskripsian hanyalah subjeksi. Tapi mendeskripsi dirinya sendiri. Lepas dari semua pendapat, pembenaran, maupun penyalahan akan dirinya. Semua orang mampu mendefinisikannya. Namun tidak seorangpun benar. Karena dia, mendefinisikan dirinya sendiri. Dan definisi tersebut, tidak sekalipun terungkap...
Chapter 1
Sudah dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhirku dengannya. Namun jiwanya seperti selalu mengiringiku. Membelai dalam mimpi. Menuntun dalam gelap. Menyanyi dalam sunyi. Ceria dalam sepi. Mengalun dalam hampa.
Sehingga berkali-kali kembali terpikir. Bahwa dia lah yang ditakdirkan Tuhan untukku. Sebuah pemikiran bodoh berdasar hasrat yang haus terhadap sosok. Indah....
Namun pikiran ini tidak membuat potensi langkah dan denyut nadi berhenti pada hitungan ke-10.
Sepuluh. Dan aku tetap melangkah menuju kampus, menggapai (berdasarkan petuah nenek moyang) masa depan yang lebih baik.
Bullshit, bagaimana aku bisa maju di tengah kubangan penjahat hermafrodit. Semua orang berkepala dua, walaupun tidak berkelamin dua.
Okeh. Mari tinggalkan bangsa hermafrodit pada mahasiswa biologi semester awal, yang masih sering dikerjai dosen dan angkatan tua.
Tidak seluruh dunia mengetahui tentang Indah. Tentang cinta pertama penuh perjuangan gila. Tentang kreativitas jejak langkah cinta. Tentang tulisan dan hamparan. Tentang kuasa yang menekan mentalku hingga kini.
Bisa dibilang merupakan pengalaman cinta paling fenomenal sepanjang sejarah tidur adalah memejamkan mata. Sejarah sepanjang itu, hanya memiliki satu kisah paling fenomenal (jelas, “paling” memang hanya 1). Dan mahakarya Shakespear, Romeo and Juliet, adalah runner up. Sungguh membingungkan. (bagian mana yang membingungkan, silahkan pikir sendiri)
Saat itu. Aku melakukan apa saja demi Indah. Apa saja. Bahkan hingga hal yang tidak terbayangkan oleh akal sehat.
Hal yang tidak terbayangkan akan dilakukan seseorang untuk mengejar cintanya. Bayangkan sekarang. Dan bayangkan aku yang melakukannya. Yah, benar, seperti itulah.
Sudah lama sekali aku tidak mengingat Indah, sekitar dua jam yang lalu. Padahal telah tiga tahun lebih prakarsa “aku akan melupakan Indah” terlahir dengan gemilang.
Akan tetapi, semangat melahirkan ide fenomenal itu sepertinya tidak diikuti semangat keseriusan untuk melaksanakannya. Jadilah berlarut-larut seperti ini. Indah barangkali sudah lima kali berganti pacar, sedang aku belum sekalipun mampu melupakannya.
Hehe, he, hehe... T.T
Chapter 2
Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Tidak sulit untuk menemukan gadis cantik atau manis di sini. Bahkan kecantikan berserakan terinjak-injak. Kemanisan bertebaran menutup guguran daun (halah sok puitis).
Hanya satu, fakultas ini, miskin kharisma. Tidak satupun makhluk berdada indah yang memiliki aura di sini. Semua datar. (bukan bagian itu yang penulis maksud ^_^)
Bicky Perdana Putra, mahasiswa sederhana yang tidak mencolok di tengah timbunan pria ketajiran (bukan kebanyakan). Berniat menjadi aktivis kampus. Mahir membujuk, tapi seperti diketahui, tidak dalam membujuk hati wanita.
Bicky sekarang sedang nongkrong di Plasa Fikom, di tengah obrolan dengan rekan-rekan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), suatu badan eksekutif (trias politica) dari sebuah pemerintahan mahasiswa di Fikom. Mereka sedang membicarakan suatu proyek pengkebirian dosen di depan umum, yang mereka namakan “Dosen Award”.
Emm...pada dasarnya, dipandang dari sudut positif, Dosen Award adalah sarana perpanjangan lidah bagi mahasiswa yang tidak mampu mengaspirasikan keresahan terhadap kualitas pengajaran dosen. Kebetulan, Bicky lah ketua pelaksana proyek ini.
“Gw yakin ini bakal menuai banyak kontroversi”, Haris, seorang gemuk agak pendek bermuka lucu.
“Kenapa harus takut? Kalo perlu kontroversi tujuan kita. Kita bisa buat ini booming. Dengan segala macam resiko, bisa makin keren jadinya”, Bicky semangat.
“Em...itu seh ga perhitungan namanya”,
“Ini perhitungan, dan dampak serius yang tadi-tadi itu emang masuk dalam ...”, tiba-tiba saja seperti ada seseorang yang memperhatikanya, Bicky langsung menengok mencari tapi tidak ketemu.
Di gerakan kepalanya mencari seseorang itu, Bicky melihat sebuah bangunan yang biasa disebut masjid.
“Sial!! Jam berapa inih?”, Bicky panik sambil memperhatikan jam ponsel
“Setengah tiga, da paan seh?!”,
“Gw belom solat jink! Gw solat bentar yah, lo terusin aja dolo”, rusuh
Sekumpulan orang tersebut heran dengan reaksi yang dianggap terlalu berlebihan itu.
Bicky pun berjalan menuju masjid yang tidak terlalu berjarak dari tempat berkumpul tadi. Dalam perjalanan yang terburu-buru itu, bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu, yang hanya didengar olehnya.
“...thanks, Indah”,
*
Chapter 3
Perjalanan Bicky ke kosan, seperti biasa, menyita waktu. Memilih kosan yang jauh dari peradaban merupakan pilihan sulit. Sehat, dapat lebih konsentrasi belajar, udara segar, dan pada intinya murah. Suatu pembenaran yang dipaksakan. Tapi karena telah terbiasa, hal tersebut bukan lagi beban.
Ketika baru saja sampai di kamar kost, Bicky mendapat telpon dari seorang teman.
“Yah.. ada apa Ti?”, Bicky menyapa Yanti, seorang teman lama di masa SMA.
“Bickong, komputer gw ga bisa nyala! Gimana ni! Lo ksini dunk, tolongin gw...”, memelas ala Yanti.
“Buset, Ti. Gw baru aja sukses masukin kunci kamar ke lobangnya”, Bicky pake perumpamaan segala.
“Ayo donk, Bickong! Tugas gw yang mau dikumpulin hari ini masih di komputer, blom sempet gw pindahin ke FD...”, makin panik.
“Coba lo periksa kabel di blakang CPU. Uda pada kenceng blom?”,
“Udah gw kencengin smua masi blom nyala juga...”,
“Coba lo periksa kabel datanya, barangkali ada yang kendor dan hardware-nya ga ke detect”,
“Aduhhhh... gw ga ngerti, tar klo mledak gimana?”,
“Ampun deh, ga akan mledak. Lo lepas dulu powernya byr ga nyetrum”,
“Uda deh, Bickong... lo ksini aja... plisss...”, masih berusaha membujuk.
“hemm...”, merenung “(gw bisa nolongin, masalahnya kosan gw jauh banget, ditambah, gw harus hemat budget untuk minggu ini. Apa yang akan dilakukan Indah di saat seperti ini? Apa yang akan dilakukan Indah? Indah...?)”, Bicky dalam hati. “Tentu saja, aku akan menolongnya”, Indah tiba-tiba berdiri di depan Bicky dengan senyum manisnya. “(tentu saja, Indah pasti akan menolongnya, begitupun gw. Heheh...pertanyaan bodoh...)”, Bicky sambil senyum tipis menghadap Indah.
“Ti, sediain makanan yah. Gw belom sempet makan nih”, Bicky lalu melempar tas ke atas kasur, melepas sepatu, mengunci pintu kembali, dan mengambil sandal jepit.
“Okke! Thx Bickong”,
**
Chapter 4
Sesampainya kembali di depan kamar kosnya dari kosan Yanti, Bicky terkejut karena pintu kamarnya tidak terkunci seperti yang tadi Ia tinggalkan. Dengan was-was Ia slow-motion melihat ke dalam ruangan untuk melihat apa saja yang hilang. Bicky dikejutkan tiga kali lagi, dengan kejutan yang jauh lebih dahsyat.
Pertama, tidak ada satupun barang yang hilang di kamarnya.
Kedua, kamarnya menjadi rapi dan bersih sekali seperti kena tornado di iklan sabun cuci. Seperti terkena sentuhan wanita feminim, wanita sungguhan.
Ketiga, di sana memang ada seorang gadis sedang duduk di atas kasur sambil senyum memandang Bicky yang masih berdiri di pintu. Dan Bicky tahu, Ia tidak feminm.
“Allo...”, suara gadis itu dengan gaya tomboi.
Bicky mengeluarkan flashdisk dan melemparkannya ke kepala gadis tersebut. “Tukk!!”, kena. Hal ini membuktikan kalau Dia bukan arwah.
“Duhhh! Apa-apaan sih lempar ini ke kepala gue!”, protes.
Lalu Bicky, masih di tempat yang sama, mengeluarkan dompetnya yang berada di dalam tas slempangan itu, dan membukanya lebar-lebar sehingga Ia mampu dengan jelas melihat isinya. Lalu setengah berbisik, “...kosong... berarti ini bukan mimpi...”.
“Arghhhh... ngapain lo ada di sini!!!”, Bicky setengah berteriak.
“Ih, jahat banget seh lo. Uda gue rapihin kamar lo juga”, gadis itu sambil berdiri dan berjalan mendekati Bicky.
“Gue kangen banget sama lo, Bicky...”, gadis itu sambil melompat memeluk Bicky.
“...Lllll...”, Bicky seperti ingin menyebutkan nama gadis itu, dan,
(bersambung!!!)
(hehehe, becanda. Emang ini sinetron Indonesia apa)
(hwehwehwehweh....)
Chapter 5
“...Lina... ga usa pake adegan peluk-pelukan lah... Lin, gw risih”, Bicky memohon Lina untuk mundur.
“Eee... Bicky udah berubah! Kalo Bicky yang dulu pasti uda menghindar sebelum gue peluk, atau langsung dorong badan gue ke belakang. Hehehe, udah dewasa nih yah...”, Lina mundur, dan dengan kecentilan menggoda Bicky.
“Bu..bukan begitu. Gw masih syok”, berkilah.
Lalu mereka masuk ke dalam kamar bersama dan bercengkerama mengenai banyak hal.
Lina Anggraini. Anak tertua dari tiga bersaudara, keluarga tentara, mungkin itu yang menyebabkannya sedikit tomboi. Dan seperti Bicky, Lina suka mencari sensasi. Ia tinggal di Jakarta, cukup jauh dari rumah Bicky. Tidak pernah sekelas dengan Bicky karena memang berbeda sekolah. Lina setahun lebih muda dari Bicky.
Rambut kemerahan pendek sebahu, warna kulit cerah, hidungnya mancung tidak seperti Bicky, tinggi sekitar 160 cm, berat sekitar 52 kg, cukup cantik, tomboi dan sedikit centil jadi satu. Ia mengenakan T-shirt biru bertulis ‘i love u’, jeans ¾, dan menggantungkan handphone di leher.
Jika dulu Bicky cinta mati kepada Indah dan melakukan segalanya demi Indah, Lina cinta mati kepada Bicky dan melakukan segalanya demi Bicky. Cinta segitiga, kaya di tv.
“Ada apa Lin, bukan disuruh nyokap gw khan?”, Lina memang lumayan dekat dengan orangtua Bicky, atau bisa dibilang Lina mendekati keluarga Bicky.
“Cuma mao ngasih kejutan aja. Soalnya lo jarang pulang seh...”, cemberut maksa.
“Trus lo mao tidur di mana? Ini kosan cowo. Gw anterin ke kosan Yanti sekarang yo, uda hampir gelap”, Bicky membujuk.
“Gue tidur di sini aja”,
“Ga denger kata gw tadi? Ini kosan cowo, ga da kamar cewe, jadi lo ga bisa gw titipin dimana-mana. Yaudah, di rumah ibu kosan aja gimana?”,
“Gue mao tidur di sini aja, Bick...”, Lina masih memaksa, karena ia tahu kalau peraturan di kosan Bicky memang tidak ketat, tidak ada jam malam, tidak pernah ada pemeriksaan dan segala macam. Initinya, tidak ada peraturan.
“Gue ga kan macem-macem... tolong bolehkan gue tidur sama lo Bick...”, Lina sambil menunduk dengan wajah sedih dan hampir menangis.
“Yaudah ga usah nangis. Bentar gw pinjem kasur dulu ma Syambas”, menyerah dan berharap tidak akan terjadi apa-apa.
Chapter 6
Malam hari, jam sebelas malam. Sebenarnya aku tidak berniat begadang malam ini, tapi kedatangan Lina membuat aku tidak nyaman tidur. Lina sudah tertidur, mungkin karena kelelahan di perjalanan dan membersihkan kamarku yang replika kabin Titanic karam.
Aku bermain game komputer sejak tadi. Sudah bosan karena tidak menang-menang. Tapi tidak tau lagi harus apa. Semua buku yang baru kubeli tiga hari lalu sudah habis kubaca. Aku berniat terjaga hingga pagi. Paling tidak jika aku tidak tertidur, menipiskan kesempatanku dirasuki setan kosan yang tergiur dengan Lina.
Aku kembali melihat keadaan Lina. Ia tertidur dengan manis. Kali pertama aku melihatnya tertidur. Ia pernah tidur di rumahku, tapi di kamar Deva, adikku yang pertama. Mengerikan.
“Sial...”, aku tidak mampu lagi mengendalikan kantuk, perjalanan ke kosan Yanti berjalan kaki pergi-pulang terlalu melelahkan.
“(Anjir... cepet banget gw ngantuk. Kosan ini setannya pasti banyak banget. Di saat-saat seperti ini pasti mereka ngumpul di kamar gw...)”, aku berkata dalam hati kepada diri sendiri, sambil sedikit melihat jam komputer, 11.35pm, dan sedikit menunduk.
Chapter 7
Sejak jam sembilan tadi, aku tidak pernah serius tidur, aku hanya berpura-pura, menunggu Bicky untuk tertidur. Aku ingin memberinya sebuah kejutan lagi.
Berkali-kali aku hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat perilaku bodoh Bicky dalam usahanya untuk tetap terjaga. Kepolosannya masih ada.
Aku terlalu mencintai Bicky, aku menginginkannya menjadi pasangan hidupku kelak. Akan tetapi sepertinya hal itu tidak mungkin lagi.
Bicky semakin dewasa, tidak akan lama aku mampu dengan bebas mencintainya jika Ia telah mendapatkan pasangan yang cocok. Dalam hal ini aku sangat bersyukur Bicky selalu gagal dalam mendapatkan cintanya sampai saat ini.
Bicky semakin dewasa. Sebelum Ia menikah dengan Indah atau siapapun takdirnya kelak, aku ingin memberinya sesuatu yang istimewa.
Aku sudah memikirkannya matang-matang, dan tidak akan menyesalinya.
Chapter 8
“Bick...Bicky...”, suara Lina berusaha membangunkan Bicky yang tetidur di depan komputer.
“...hah??”, usaha mengumpulkan nyawa. Dengan mata yang belum terbuka sempurna Bicky melihat Lina yang berdiri di dekat pintu, sekitar dua meter darinya. Dalam keadaan yang tidak terduga.
“Lina! Ngapain lo mandi malem-malem trus ga make baju lagi! Tar bisa masuk angin..”, masih sempetnya bercanda. Lina tersenyum,
“Gue udah mandi tadi sebelum lo pulang”, suaranya manis dan lembut tidak seperti biasa.
Bicky panik lalu meminum susu yang biasa dibuat dan ditaruhnya di meja komputer sampai habis. Meja komputernya lesehan, sehingga Ia duduk di atas kasur (yang juga lesehan tanpa dipan) tepat di samping meja komputer.
“Glek...glek...glekk...”, Bicky tertalu panik untuk menyadari bahwa susu itu sudah ditukar dengan bir, sampai saat isi gelas itu habis diminumnya.
Bicky mulai pusing-pusing, Ia menggelengkan kepalanya berusaha memulihkan kesadaran, lalu memukul-muluk kepalanya sendiri.
“Yaudah...sekarang pake baju lo. Mana baju lo, buruan pake”, Bicky panik sambil menggeledah serampangan ke sekitar area yang mampu dijangkaunya. Sepertinya Bicky mulai kehilangan kendali penuh dirinya.
“Ga usah, gue mau begini aja”, jawab Lina.
“Ya ampun! Baju lo ilang Lin. Di sini emang banyak setannya, tapi baru sekali ini mereka maling baju”, Bicky mulai ngelantur.
“hihihi..”, Lina tertawa geli.
“Lo pake baju gw aja, ini nih yang gambar bunga-bunga... aduh ini seprei. Baju gw...baju gw... ada di...”, Bicky terjatuh merebah di kasur, benar-benar kehilangan kesadaran penuhnya.
Lina mendekati Bicky masih dalam keadaan yang sama, tanpa busana. Ia duduk di samping rebahan Bicky, memegang kedua pundak Bicky, dan dengan bersusah payah membangunkan badannya hingga terduduk.
“Gue akan memberi lo segalanya Bick. Walau ga lo minta sekalipun”, Lina menuntun tangan Bicky untuk menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang sangat terlarang. Dan mulai menggunakan tangan satunya untuk menggerayangi Bicky.
Sekitar beberapa menit setelahnya, Lina masih dengan lembut memperlakukan Bicky bagai pangeran impiannya. Saat Lina melihat bibir Bicky bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu, “...Indah...tolong gw...”, sangat pelan, hingga hampir tidak terdengar walau di tengah kesunyian pagi buta.
“Hah?! apa Bick...”, Lina berkata lembut karena tidak sempat mendengar jelas kata-kata itu. Dan sekarang memegang kedua pundak Bicky dan menariknya, menciumnya, lalu memeluknya, hingga sekarang kepala mereka saling bersampingan.
Di tengah pelukan hangat penuh cinta kasih Lina terhadap Bicky, Bicky melihat sosok Indah tepat di hadapannya, di belakang Lina, tersenyum kepadanya.
Bicky masih mendekap dalam pelukan hangat tubuh Lina, ketika Bicky mengulurkan tangan kanannya berusaha meraih uluran tangan Indah, dan,
“...Indah...maafin gw...”,
“Deg...”, suara pelan itu mengalir tanpa kesadaran. Dan kali ini Lina cukup dekat dengan Bicky untuk dapat dengan jelas mendengarnya, tangan Bicky mulai turun.
Seketika Lina menundukkan kepala di pundak kiri Bicky, memeluknya lebih erat dan semakin erat, Ia tertunduk meneteskan airmata, lengan kirinya melingkari badan Bicky, tangan kanannya membelai rambut Bicky.
“Di saat seperti ini, hikss...di tengah ketidaksadaran lo, hiks..hikss... yang lo ingat hanya Indah...”, Lina mulai terisak, semakin menangis, air matanya semakin jelas terlihat.
“Betapa kekanakannya gue melakukan ini terhadap lo, Bick. Hikss..hikss...”, Lina semakin terisak.
“Betapa bodohnya gue berusaha mengotori lo...”, Lina mengendurkan pelukannya.
“Gue hanya ingin memiliki lo”, Lina menghapus airmata yang mulai deras mengalir dengan tangan kanannya, sedang lengan kirinya masih melingkari pinggang Bicky. Tangisnya semakin menjadi.
“Maafin gue...”, seketika Lina memeluk erat sekali pangerannya. Bagai sebuah isyarat tubuh, bahwa Ia tidak akan pernah melepaskannya.
(the end)
(hehehe... becanda kok)
Chapter 9
Bicky terbangun cukup siang, 9am. Lina duduk di samping Bicky sejak tadi, melihat dan menunggunya terbangun. Bicky seketika mengingat sedikit kejadian semalam, lalu panik.
Lina terkikih di samping Bicky melihat reaksi tersebut. Lina telah rapi dengan kemeja dan celana jeans milik Bicky, dan tas slempangnya tergeletak di samping kiri.
“Lo suruh gue pake baju lo kan? Gue pinjem yah, soalnya emang gue ga bawa baju ganti”, Lina senyum.
“Lina! Apa yang udah gw lakukan? Apa gw akan jadi bapak!!”, panik.
“Hihihi...masih mabok lo yah? Udah, gue balik dulu yah... jaga diri lo baik-baik. Gue uda cukup melepas kangen dengan lo semalem. Hihihi...”, Lina tertawa geli.
Lina berdiri, memakai tasnya, merapikan letak hp, menuju pintu diikuti oleh Bicky.
“Lina...maafin gw. Gw...”, Bicky menunduk sedih. Lina sudah di luar pintu.
“Lo emang akan jadi bapak”,
“...”, makin tertunduk.
“Bapak dari anak yang akan dilahirkan istri lo kelak... see ya...”, senyum sambil melambaikan tangan membelakangi Bicky, meninggalkannya dengan ikhlas.
“(Ga perlu minta maaf... gue yang salah...)”.
“(Indah. Sebegitu hebatkah engkau...)”, Lina menatap langit, membayangkan wajah Indah.
***
Chapter 10
Keesokan hari, Bicky berniat mencoba shooting game favoritnya yang dikabarkan berhasil singgah di lantai tiga Jatinangor Town Square (Jatos), Time Crisis. Quality Control.
Hatinya kini tenang, karena Ia cukup cerdas dalam mengartikan kata-kata terakhir Lina sebagai ‘tidak terjadi apa-apa malam itu’. Namun rasanya kejadian seperti itu masih risih dibahasakan sebagai ‘tidak terjadi apa-apa’.
Bicky ditemani oleh Shofie, seorang gadis berjilbab yang juga tertarik dengan shooting game, tapi hasratnya belum pernah tersampaikan, dalam arti, amatir. Shofie sudah memiliki pacar, namanya Bayu, mahasiswa Fakultas Peternakan yang diperkirakan berumur 24 tahun. Sepuh. Hihihihi... V^_^!
“Bicky! Kita mampir di tempat boneka dulu yuk”, pinta Shofie.
“Okey. Tapi jangan lama-lama yah. Gw masih penasaran ama Time Crisis nya neh”,
“Okkey!”, Shofie ceria.
Mereka mendekati sebuah toko boneka yang bersebelahan dengan toko pakaian remaja putri yang cukup modis.
“Bicky! Liat, lucu ga boneka pink nya?”, Shofie mengacungkan boneka itu kepada Bicky yang berada di luar toko, seakan meminta tanggapan padahal basa-basi.
“(hihi... boneka pink!)”, Bicky lalu menoleh ke toko baju di sebelah toko boneka “(hihihi... itu juga ada baju pink)”, Bicky sambil memperhatikan remaja putri yang dari tadi sibuk memilih baju warna pink.
“(hehe... kaya Indah ajah suka pake baju warna...)”, tiba-tiba Bicky tersentak dengan suatu hal.
“Pink...”, Bicky berkata kepada dirinya sendiri lalu mengerutkan dahi.
Bicky seketika memucat. Ia duduk di kursi panjang terdekat, membungkuk, menopangkan kedua sikunya ke lutut, dan menyatukan genggaman telapak tangannya.
“(Benar. Warna pink. Indah sangat menyukai warna pink. Hampir setiap kali tidak terlihat menggunakan seragam, Ia menggunakan pakaian pink! Semua yang aku ingat tentang Indah adalah pink. Boneka babi pink yang selalu aku berikan karena Ia suka sekali pink. Kasur dan selimutnya berwarna pink. Sepatunya untuk jalan berwarna pink. Jam tangannya juga pink. Tas sekolah, tas jinjing, pita, jepitan rambut, tempat pensil, penggaris, sampul buku, kertas binder. Semua berwarna pink)”, Bicky semakin pucat.
“(Tapi mengapa... Dia berwarna biru?)”, Bicky sambil menegakkan kepalanya menatap sosok wanita berbaju biru yang tersenyum di depannya. Sosok Indah.
“Who... are you...?”, Bicky dengan mata yang lebih tegas.
Chapter 11
Dua hari berlalu sejak hari dimana aku menyadari ada yang janggal dengan sosok Indah yang berada di pikiranku. Namun aku blum menemukan titik terang.
Indah selalu menggunakan asesoris berwarna pink. Dan Ia pun hampir selalu terlihat di hadapanku dengan warna pink. Bukankah seharusnya sosok Indah di dalam pikiran gw terasosiasi dengan warna pink. Mengapa Ia berwarna biru?
Aku tidak menyadarinya selama ini. karena sosok yang diambilnya adalah Indah, aku dengan mudah berpikir bahwa itu adalah bayanganku akan Indah. Indah yang selalu menolongku mengambil keputusan. Indah yang selalu mengingatkanku waktu sholat. Indah yang selalu memberiku semangat di saat aku jatuh.
Di saat Ia muncul, aku berpikir bahwa aku memikirkan Indah.
Tunggu sebentar. Secara logika, kapan aku pernah benar-benar dekat dengan Indah, maksudku Indah dalam wujudnya yang nyata. Indah tidak pernah begitu akrab denganku, walau kukejar Dia kesetanan. Sejak dulu hingga sekarang, Indah selalu menjaga jarak denganku.
Bagaimana aku tahu caranya berpikir, caranya menyelesaikan masalah, caranya menolong orang. Bagaimana aku tahu?
Hingga saat ini yang kuketahui dari Indah mungkin hanya sekitar 20%. Itu pun dari data-data yang kukumpulkan sendiri. Yang kulihat dari luar. Ia tidak pernah sekalipun membuka dirinya untukku.
Dengan keadaan seperti itu. Bagaimana mungkin aku mampu memproyeksikan Indah secara sempurna di dalam diriku. Jelas tidak mungkin!
Tapi Ia terproyeksi. Begitu sempurna hingga Ia mampu mempengaruhi segala sisi hidupku.
Ada dua kemungkinan.
Satu, Indah memang terproyeksi tidak sempurna, tapi Ia disempurnakan oleh orang lain. Orang lain dalam kehidupanku yang cukup berarti tapi tidak kusadari.
Kedua, tanpa sadar aku menciptakan individu baru yang bersemayam dalam diri dan pikiranku. Individu bukan Indah atau siapapun. Dia, adalah “Dia”.
Hal ini semakin membuatku pusing.
Chapter 12
“Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku adalah Indah ataupun proyeksi dari Indah”, suara tersebut sangat dikenal oleh Bicky. Suara itu berasal dari belakang Bicky.
Bicky menengok ke belakang, dan menatapnya tajam. Sebelum itu Bicky sedang duduk termenung di pinggir jembatan cincin, tempat yang biasa dilaluinya sepulang kuliah. Posisi duduknya tadi menghadap ke tengah jembatan. Jika dengan keadaan seperti itu Indah menyapanya dari belakang. Jadi saat ini, Indah melayang di samping jembatan.
“Hey... ada apa dengan tatapan matamu kini? Tidakkah kau masih mencintaiku?”,
“Siapa kau sebenarnya?”,
“Kau telah memikirkan kemungkinan yang ada sebelumnya. Tebaklah!”,
“Tidak ada satupun petunjuk yang kuketahui untuk memperkuat salah satu dari dua kemungkinan itu”,
“Pemikiranmu cukup cerdas. Tapi aku tidak dapat mengungkapkan diriku yang sebenarnya kepadamu. Kau harus mengetahuinya sendiri”,
“Kau bukan Indah”,
“Itu benar. Tapi hanya sebatas itu yang dapat kuberitahu”,
“Dapatkah kau menghilang dari pikiranku mulai sekarang?”,
“Kau menciptakanku, aku tidak dapat menghilang kecuali kau hilangkan”,
“Bagaimana aku menghilangkanmu?”,
“Kau harus membuang bagian dari diriku yang melekat denganmu. Dengan sendirinya aku takkan lagi melekati hati, pikiran dan dirimu”,
“Bagaimana caranya aku dapat membuang bagian tersebut?”,
“Kau harus mengenalku”,
“Hufh... memusingkan...”,
“Sampai saat itu tiba, aku takkan meninggalkanmu. Aku akan selalu hadir setiap ada kesempatan. Setiap hatimu tidak stabil, dan kalbumu bergetar, aku akan di sana. Jika kau sulit untuk mengenalku, mulailah kembali bersahabat denganku. Jika perlu, kau dapat terus memanggilku dengan Indah”, sosok Indah lalu menghilang.
Bicky termenung berdiri di tengah jembatan cincin. Lalu menengadahkan wajahnya ke atas, mengajak matanya melintasi awan. Mungkin di sana, Ia dapat menemukan jawaban.
_THE END_
Nomena. Semua orang mampu mendefinisikannya. Namun tidak seorangpun benar. Dia, mendefinisikan dirinya sendiri. Dan definisi tersebut, tidak sekalipun terungkap.
Karena itu, tidak seorangpun mengetahuinya...
Last Chapter
Aku memang diciptakan olehnya. Tepat seperti katanya, hanya terdapat sedikit Indah di dalam diriku. Dan sebagian diriku yang lebih besar berasal dari tempat lain.
Ada perwujudan dari sebuah cinta kasih yang sangat besar kepada Bicky dari “seseorang”. Namun sayangnya, perwujudan cinta kasih itu tidak dapat masuk menembus hati Bicky. Karena satu-satunya sosok yang dikenali, atau sengaja dibuat hanya satu, hanyalah Indah.
Satu-satunya yang dengan mudah mampu memasuki hati Bicky hanyalah Indah, dan hanya dengan sedikit mengenal Indah, tidak dapat membentuk sebuah proyeksi diri.
Hasrat dan cinta Bicky yang sangat besar terhadap cinta kasih Indah secara menakjubkan membentuk sebuah dasar proyeksi akan Indah dengan data yang sangat sedikit. Tentu saja, proyeksi tersebut memiliki kekurangan yang sangat sangat besar. Kekurangan tersebut diisinya dengan mengundang masuk perwujudan cinta kasih yang sangat besar dari “orang lain”1, namun tidak sebagai dirinya, melainkan sebagai Indah.
Lalu terbentuklah Indah yang Ia impikan selalu berada di sisinya, selalu dapat menolong dan mencintainya, selalu bersikap baik dan tak pernah menyakiti hatinya, selalu ada setiap saat untuknya.
Terbentuklah aku.
Perwujudan cinta kasih dari orang lain itu sendiri sangat menakjubkan. Karena terlalu besarnya, maka Bicky tanpa sadar mengambilnya untuk mengisi berbagai organ dalam, sifat-sifat penting, dan berbagai hal vital dari sebuah proyeksi Indah. Sedangkan Indah sendiri hanya sebatas menjadi wajah, fisik, serta penampilan luar.
Saking besarnya kekuatan cinta kasih tersebut, aku bahkan tidak mampu merubah sedikitpun warna dan sikap hatinya menjadi warna dan sikap hati Indah yang diketahui Bicky. Betapapun ditelitinya informasi tentang Indah, tidak akan pernah terdapat ungkapan cintanya terhadap Bicky. Sedangkan hasil proyeksi yang terbentuk dengan jelas mencintai Bicky. Itulah salah satu contoh.
Di alam bawah sadarnya, Bicky mengakui dan menerima cinta kasih “orang lain” tersebut. Namun itu terletak sangat dalam, sehingga diragukan untuk menjadi kebenaran.
Huffhh... Bicky yang bodoh. Kukira apa yang dialaminya seminggu ini akan menyadarkannya akan sesuatu. Ternyata Ia masih terlalu polos untuk mengerti perasaan setinggi ini. Pengalaman tersebut, ternyata kurang membuatnya melihat. Betapa hebatnya engkau...
Indah memang, tidak sehebat itu, Lina...
_TRUE END_
Dreams within the still of night
On wing of hope take flight inside me
There upon some distant shore
We want for nothing more
Than what will be
Bride in dream
1 orang yang sama dengan yang gw maksud sebelumnya (di alinea 2)
Perlu diingatkan, bukan ditulis dari kisah nyata. Kemiripan dan kesamaan karakter tokoh dan lingkungan merupakan hal yang disengaja. Masalah penggunaan nama tokoh utama sebagai Bicky, memang sudah biasanya cerpen yang gw tulis selalu pake nama gw.
Ucapan terima kasih patut dilayangkan kepada Indah Lestary, sumber inspirasi patah hati sejati. Toilet, tempat paling aman untuk ademin pikiran dan menenangkan hati, serta memunculkan ide. Mujahidah Shafiya (Ophie), rival dalam kompetisi cerpen yang membuat gw dikejar deadline, thats great, btw, maap soal becandain karakter cowo lo. Komputer tersayang, yang hampir 35 jam nyala terus untuk menyelesaikan cerpen ini, yang hanya gw tinggal makan, ke toilet, dan sholat tentunya.
Dan tokoh-tokoh yang berada di dalam : Indah Lestary, makasih Indah, maap masih make2 nama lo trus. Agustiyanti (Yanti), thx berat, maap gw pinjem nama tanpa sepengetahuan lo. Nova Lisa Hanggraini, aduh inih orang jauh tapi gw tulis2, bisa bersin2 sbulan nih, hihihi,,, thx bgt Nov, palagi perannya panas. Haris dan gank BEM, thx all. Mujahidah Shafiya, thx atas karakternya, maap kurang detail.
Environment tak terlupakan : Plasa Fikom, tempat asik yang jarang gw tongkrongi. Kamar gw, cantik.... Dan jembatan cincin, yang selalu indah sepanjang masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar